Subjektivitas penulis sejarah itu diakui, tetapi untuk dihindari[1]
Kuntowijoyo
Sejarah dalam arti subjektif adalah suatu
konstruk, ialah bangunan yang disusun penulis sebagai uraian atau cerita.[2] Sisi keakuan dari seorang
sejarawan sangat berperan dalam mengurai fakta untuk menentukan jalan cerita.
Inilah yang disebut sebagai interpretasi, salah satu dari tahapan penulisan
historiografi sejarah, yang dapat diartikan sebagai ajang tafsir seorang
penulis dalam menentukan alur cerita yang bersumber pada data dan fakta. Dalam
interpretasi, ada tiga sub pokok yang tidak mungkin dinafikkan. Ketiga unsur
itu ialah imajinasi,
historical-mindednes, serta
historical issue.
Penulisan
historiografi sejarah Indonesia secara garis besar terposisikan dalam tiga
corak terdominan, yaitu historiografi tradisional, historiografi kolonial, dan
historiografi nasional. Kebanyakan, ketiga permasalahan tersebut bukan
bermuasal dari kepentingan keilmuan. Amat jarang pengkisahan sejarah Indonesia
yang berproses untuk mencari kebenaran yang
berdasarkan landasan metodologis yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah. Ketiganya biasanya merupakan letupan dari kepentingan legitimasi
penguasa, baik secara kultural maupun politik. Ini menyebabkan pengkisahan
sejarah tersebut akan bermuara pada pembenaran.
Pembenaran terhadap identitas dan jati dirinya sebagai sebuah komunitas.
Ketiga corak historiografi tersebut cenderung untuk menunjukkan unsur kejayaan
dan kebesaran dari struktur kekuasaan yang dominan.[3]
Konsekuensi
dari penyimpangan ini adalah maraknya perkembangan sejarah ideologis dalam
kesejarahan Indonesia. Yakni suatu sejarah yang berupaya menanamkan suatu
nilai-nilai, terutama semangat nasionalisme, heroisme, dan patriotisme. Baru
pada sekitar tahun 1970-an sejarah yang bersifat kritis mulai berkembang dengan
cukup baik.
Sejarah yang
berpijak kepada hal-hal non keilmuan inilah yang dikategorikan sebagai historical-issue. Sesuai dengan namanya,
isu bukan merupakan sumber yang bisa dipertanggungjawabkan validitas dan
kebenarannya. Bahkan tak jarang isu kerap diidentikkan dengan hal-hal yang
irrasional, di luar akal sehat. Sering pula isu dikaitkan dengan mitos,
folklor, dongeng, atau pun cerita rakyat. Jenis-jenis pijakan semacam ini yang
menjadi senjata ampuh penguasa untuk melegalkan legitimasinya.
Sebagai contoh,
keyakinan terhadap Nyi Roro Kidul yang merupakan dogtrinasi raja-raja Mataram
terhadap rakyatnya sebagai media legitimasi. Dengan penanaman idealisme mistik
terhadap kawulanya itu, raja-raja Mataram dengan leluasa dapat mentasbihkan
dirinya sebagai orang luar biasa, yang mempunyai kekuatan yang tidak dimiliki
orang kebanyakan. Raja adalah wali Tuhan di dunia yang dikaruniai banyak
keistimewaan. Berangkat dari isu (baca: mitos) itulah, legitimasi raja sebagai
penguasa akan semakin disakralkan oleh rakyatnya.