Jumat, 16 Maret 2012

Legitimasi Isu Sang Penguasa


Subjektivitas penulis sejarah itu diakui, tetapi untuk dihindari[1]
Kuntowijoyo


Sejarah dalam arti subjektif adalah suatu konstruk, ialah bangunan yang disusun penulis sebagai uraian atau cerita.[2] Sisi keakuan dari seorang sejarawan sangat berperan dalam mengurai fakta untuk menentukan jalan cerita. Inilah yang disebut sebagai interpretasi, salah satu dari tahapan penulisan historiografi sejarah, yang dapat diartikan sebagai ajang tafsir seorang penulis dalam menentukan alur cerita yang bersumber pada data dan fakta. Dalam interpretasi, ada tiga sub pokok yang tidak mungkin dinafikkan. Ketiga unsur itu ialah imajinasi, historical-mindednes, serta historical issue.

Penulisan historiografi sejarah Indonesia secara garis besar terposisikan dalam tiga corak terdominan, yaitu historiografi tradisional, historiografi kolonial, dan historiografi nasional. Kebanyakan, ketiga permasalahan tersebut bukan bermuasal dari kepentingan keilmuan. Amat jarang pengkisahan sejarah Indonesia yang berproses untuk mencari kebenaran yang berdasarkan landasan metodologis yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Ketiganya biasanya merupakan letupan dari kepentingan legitimasi penguasa, baik secara kultural maupun politik. Ini menyebabkan pengkisahan sejarah tersebut akan bermuara pada pembenaran. Pembenaran terhadap identitas dan jati dirinya sebagai sebuah komunitas. Ketiga corak historiografi tersebut cenderung untuk menunjukkan unsur kejayaan dan kebesaran dari struktur kekuasaan yang dominan.[3]

Konsekuensi dari penyimpangan ini adalah maraknya perkembangan sejarah ideologis dalam kesejarahan Indonesia. Yakni suatu sejarah yang berupaya menanamkan suatu nilai-nilai, terutama semangat nasionalisme, heroisme, dan patriotisme. Baru pada sekitar tahun 1970-an sejarah yang bersifat kritis mulai berkembang dengan cukup baik.

Sejarah yang berpijak kepada hal-hal non keilmuan inilah yang dikategorikan sebagai historical-issue. Sesuai dengan namanya, isu bukan merupakan sumber yang bisa dipertanggungjawabkan validitas dan kebenarannya. Bahkan tak jarang isu kerap diidentikkan dengan hal-hal yang irrasional, di luar akal sehat. Sering pula isu dikaitkan dengan mitos, folklor, dongeng, atau pun cerita rakyat. Jenis-jenis pijakan semacam ini yang menjadi senjata ampuh penguasa untuk melegalkan legitimasinya.

Sebagai contoh, keyakinan terhadap Nyi Roro Kidul yang merupakan dogtrinasi raja-raja Mataram terhadap rakyatnya sebagai media legitimasi. Dengan penanaman idealisme mistik terhadap kawulanya itu, raja-raja Mataram dengan leluasa dapat mentasbihkan dirinya sebagai orang luar biasa, yang mempunyai kekuatan yang tidak dimiliki orang kebanyakan. Raja adalah wali Tuhan di dunia yang dikaruniai banyak keistimewaan. Berangkat dari isu (baca: mitos) itulah, legitimasi raja sebagai penguasa akan semakin disakralkan oleh rakyatnya.


[1] Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah,.Yogyakarta:Bentang, 2001, hlm. 103.
[2] Sartono Kartodirjo. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia. 1993, hlm. 14
[3] Hariyono. Mempelajari Sejarah Secara Efektif. Malang: Pustaka Jaya, 1995, hlm. 102.